Tagged: Kelompok Cipayung
- This topic is empty.
-
AuthorPosts
-
10/11/2020 at 23:42 #8026
rinividivici
MemberTENTARA YANG DICITA-CITAKAN
Edisi : 07/02
Tanggal : 1972-04-22
Halaman : 05
Rubrik : NAS
Penulis :
Sumber :SETELAH dibulan Djanuari jang lalu mereka sepakat merumuskan
“Indonesia Jang Kita Tjita-Tjitakan”, ke-4 organisasi Mahasiswa
HMI, MNI, PMKRI, GMKI–kembali mengadakan pertemuan di
Tjipajung. Dengan peserta jang diperluas, Pertemuan Tjipajung
ke-II ini agaknja bermaksud nentjari bentuk implementasi dari
apa ang telah disepakati dulu. Paling tidak tulah jang terkesan
dari tema pandjang: perentjanaan Masjarakat Dan Tanggung Djawab
Generasi Muda Mentjapai Indoesia Jang Kita Tjita-Tjitakan.
Mematja daftar nama-nama jang akan mendjadi pembitjara utama
seperti Djendera Soemitra, Letdjen Sutopo Juwono, Majdjen Hasnan
Habib, Prof. Widjojo Nitisastro, Sudjatmoko, Alfian dan
lain-lain – dengan nama-nama pembahas jang umumnja tidak pula
asing–ada alasan untuk mengharap sebelumnja bahwa pembitjaraan
akan tidak hanja ikan menjangkut hal-hal umum akan tetapi
terutama akan bertitik berat pada jara-tjara pelaksanaan
ide-ide. Tetapi harapan itu telah bujar pada atjara nalam
pertama, ketika Djenderal Soemitro dan Majdjen Hasnan Habib jang
diharapkan akan mengemukakan fikiran-fikiran sekitar “Segi
Keamanan dan pertahanan”, ternjata tidak djuga dapat hadir.
Sebabnja “karena kesulitan tehnis”, seperti dikatakan Chris
Siner Key Timu, jang bertindak sebagai moderator malam itu
Meskipun demikian menurut moderator, panitia telah mendapat
rekomendasi dari Kepala Staf Kekarjaan Hankam Letdjen Darjatmo
untuk membitjarakan masalah hankam dalam forum itu.; Mulut & hidung. Maka barangkali itu lah untuk pertama kalinja di
Indonesia, orang-orang sipil jang terdiri dari tokoh-tokoh
pemuda dan politik membitjara kan masalah hankam di Indonesia
dalam suatu forum diskusi. Tentu sadja pembitjaraan sulit
dihindarkan dari suasana amatirisme dan hanja berkisar pada
prinsip-prinsip umum. Namun demikian apa jang ditampilkan
sedikit-banjak memberikan gambaran apa jang dipikirkan oleh
orang-orang sipil tentang pertahanan dan keamanan Indonesia
serta kedudukan militer dikemudian hari. Sabam Sirait, salah
seorang pembahas jang djadi pembitjara – disamping Rachman
Tolleng dan Gde Djaksa–karena tidak datangnja pembitjara utama,
malahan mengandurkan agar generasi muda lebih banjak
membitjarakan soal hankam sekalipun diakuinja bahwa bidang ini
“sebenarnja lebih banjak soal-soal tehnis”.; Pada umumnja diterima pendapat bahwa muntjulnja kaum militer di
Indonesia memegang peranan jang menentukan di Indonesia sekarang
sebagai hal jang tak terelakkan — meskipun ditanjakan djuga
disana apakah hal itu wadjar atau tidak. Dalam perumpamaan
Rachman Tolleng: “Karena hidung tak dapat mendjalankan fungsi
bernafas karena pilek, maka peranannja diganti oleh mulut”.
Menurut Rachman, masalah hankamnas hendaknja didekati setjara
struktural dan fungsional agar tidak tergelintjir pada keinginan
dan definisidefinisi normatif. Sambil membantah bahwa ia
berbitjara sebagai orang Golkar, Rachman melihat faktor ABRI
dalam konteks ini sebagai berfungsi intergaratif dalam mentjapai
tudjuan nasional — suka atau tidak suka. Tapi masalahnja disini
bukanlah suka atau tidak suka. Masalahnja seperti dikemukakan
oleh seorang peserta, “apakah tidak berfungsinja hidung itu
sengadja dibuat atau tidak dan kapan pilek itu sembuh?” Setjara
lebih kongkrit Binsar Sianipar, dari GMKI merumuskannja dalam
pertanjaan: “apakah tak ada kelemahan dalam perentjanaan seluruh
masjarakat kita?” Rachman Tolleng jang merasa ditudju oleh
pertanjaan itu mendjawab “mungkin sadja”. Tapi ia mengembalikan
masalah ini pada satu analisa bahwa persoalan hankam hanjalah
merupakan suatu sub-sistim dari sistim politik dan sistim
politik itu sendiri merupakan sub-sistim dari sistim sosial,
sementara sistim sosial ditentukan oleh tudjuan nasional suatu
bangsa. Bahwa dalam hubungan ini muntjulnja peranan kaum militer
sebagai tak bisa lain, Rachman menganggapnja sebagai gedjala
umum sekarang. Bahkan menurut Rachman di Amerika Serikat pun
kaum militer sekarang berperang sebagai pressure group dalam
pengambilan keputusan-keputusan dibidang ekskutif. Dan setjara
bergurau dikatakannja, djangandjangan tahun 1980-an dwi-fungsi
sudah dipraktekkan pula di Amerika Serikat”.; Spion-spionan. Terhadap masaalah ini, baik Sabam Sirait dari
Parkindo maupun Gde Djaksa dari PNI mentjoba beralih dari hanja
mengukur masa depan dengan keadaan sekarang sadja. Sabam tampil
dengan satu pertanjaan dasar tentara jang bagaimanakah jang kita
tjita-tjitakan? Dan menurut Sabam tentara jang kita
tjita-tjitakan adalah “tentara jang sebanjak-banjaknja bernafas
bersama-sama rakjat melalui satu hidung”. Artinja lebih-kurang:
fungsi hidung harus dikembalikan pada fungsinja jang normal dan
jang kita tjita-tjitakan adalah seperti jang dikatakan oleh
almarhum Panglima Sudirman jang dikutip oleh Sabam sendiri:
“tentara adalah tentara”. Sebagai demikian maka tentara otomatis
adalah bagian dari rakjat dan bagian dari bansa. Dan karena itu
Sabam menjatakan tidak setudju hanja karena pembangunan ekonomi
sadja maka pembangunan militer dihentikan. “Ini bukan maksudnja
untuk meningkatkan intensitas dwi-fungsi”, kata Sabam,
“melainkan untuk menjelematkan negara dan bangsa”.; Pendapat itu agaknja disokong oleh Gde Djaksa. “Kalau
dimana-mana sekarang kita bertemu badju-hidjau, djanganlah
dikira setjara fisik personil ABRI sudah berlebih”, katanja. Itu
hanja karena mereka tidak disiplin”. Berdasarkan
studi-komparatif dan pertimbangan djumlah penduduk, situasi
geografis serta geopolitis, Gde berpendapat bahwa personil ABRI
jang sekarang ini masih belum mentjukupi. Idealnja menurut Gde
tiap 400 orang ada 1 tentara atau minimum 100 : 1. Gde
menundjukkan 2 kemungkinan jang bisa ditempuh untuk membangun
kekuatan militer Indonesia. Djika karena terbatasnja anggaran
tak mungkin memperbanjak personil militer, maka djalan lain
adalah dengan mengembangkan industri militer dan
memodernisasikan peralatan hankam. Jang tidak kalah pentingnja
dalam pembinaan ketahanan nasional ini adalah partisipasi
masjarakat dibidang intelidjen. “Tapi koordinator intelidjen
harus tunggal”, kata Gde. “Djangan semrawut seperti sekarang,
semua punja kartu intel dan tidak djelas lagi mana jang harus
dilajani sebab orang hanja main spion-spionan”.; Walhasil dari diskusi itu ditarik satu kesimpulan bahwa masaalah
hankam bukanlah hanja masaalah ABRI akan tetapi djustru masaalah
seluruh masjarakat, dimana pemuda merupakan unsur terpenting
didalamnja. Dan pemuda ini, seperti dikatakan oleh Binsar
Sianipar kepada TEMPO, djustru “sedang berusaha mendjadi
kekuatan ketiga dalam merentjanakan masa depan masjarakat
disamping ABRI dan teknokrat”. Ia nampaknja ingin membantah
sinjalemen orang achir-achir ini – antaranja Majdjen Ali Murtopo
ketika berbitjara didepan peserta Mukerda III Gerakan Pemuda
Marhaen di Malang baru-baru ini — bahwa pemuda sekarang lebih
banjak hanja tukang diskusi, tukang demonstrasi dan tak ada jang
mendjadi pemetjah persoalan (problem solver). “Dalam tingkat
decision worker memang tidak mungkin keluar problem solving”,
kata Binsar. “Itu hanja mungkin dalam tingkat political decision
making process”, katanja. Dan Ridwan Saidi dari HMI
mengingatkan: “Kalau ada pemuda berdemonstrasi itu hanja suatu
pernjataan, bukan pola perdjuangan”.Sumber : DataTempo.co
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.